Ketua PWI Yogjakarta, Sihono |
Lintassumbar.com – Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PWI), Sihono, Mengatakan menjadi pers yang professional harus mempunyai modal hati, pikiran dan tangan yang baik untuk menghadapi persoalan pemberitaan. Hal ini disampaikan saat menerima kunjungan puluhan wartawan dari Kota dan Kabupaten Solok, di Gedung PWI DIY Jalan Gambiran 45 Yogyakarta, Rabu (28/3/2018).
Menurutnya, pers Indonesia sebagian besar masih dikelola oleh orang-orang yang belum mempunyai kesadaran etika, pikiran cerdas dan kreatif dalam berkarya. Maka dari itu Sihono berharap ke depan pers di Indonesia harus menjadi pers yang ideal, ideal dalam arti harus sensitif, kritis dan solutif.
Dikatakannya, pers harus peka terhadap permasalahan public, tajam dalam menganalisa persoalan sehingga tepat dalam memberikan jalan keluar. Pertemuan dilanjutkan Forum Group Discusion (FGD) dengan nara sumber Sihono dan Hudono, Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan.
Lebih lanjut Sihono menjelaskan kondisi pers di Indonesia masih dikelola oleh orang-orang yang belum mempunyai kesadaran etika, pikiran cerdas dan kreatif dalam berkarya. “Untuk bisa memiliki tiga sifat sensitif, kritis dan solutif, pers harus dikelola oleh orang-orang yang memiliki hati, pikiran, dan tangan yang baik,” tandas Sihono.
Menurut Sihono, permasalahan yang dihadapi pers Indonesia adalah pers sebagian besar belum mampu menangkap dinamika masyarakat, analisisnya masih dangkal, dan menyesatkan. Selain itu, pers cenderung dikelola untuk kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya, kepentingan pemilik modal, kepentingan wartawan, dan kepentingan kelompok tertentu.
“Idealnya, pers dihadirkan bukan untuk kepentingan pemilik modal, wartawan atau kelompok tertentu. Tetapi pers diselenggarakan untuk kepentingan rakyat, kepentingan publik, dan kedaulatan rakyat,” katanya.
Sedang Hudono mengatakan dalam menulis berita, wartawan berpedoman pada Undang-undang 40/1999 tentang pers, Kode Etik Jurnalistik, dan peraturan lain seperti Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Kekuasaan Kehakiman serta norma sosial di masyarakat. Meskipun sudah ada UU dan peraturan, serta kode etik, namun wartawan tidak luput berbuat salah.
Dalam penanganan kasus pemberitaan pers, sering digunakan pasal-pasal KUHP sehingga membuat wartawan menjadi tertekan. Pasal KUHP yang sering digunakan adalah 310 (pencemaran nama baik), 311 (fitnah), 315 (penghinaan ringan), 317 (pengaduan fitnah), 282 (tentang tulisan atau gambar yang melanggaran kesusilaan). Kejahatan menyiarkan kabar bohong, Pasal XIV dan XV UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Padahal, kata Hudono, penyelesaian akibat pemberitaan pers karya jurnalistik (sumber kredibel, berimbang, sudah dilakukan check dan recheck, uji kebenaran fakta) digunakan hak jawab.
“Bila tidak puas dengan Hak Jawab, minta dimediasi Dewan Pers. Bila belum puas, bisa melalui pengadilan, tetapi tetap dengan berpedoman pada UU Pers,” kata Hudono.
Sementara itu Asisten Pemko Solok, Yul Abrar mengapresiasi paparan Ketua PWI DIY yang mengharapkan setiap wartawan harus menampilkan berita yang sensitif, kritis dan solutif. Sebab selama ini paradigma membuat berita adalah bad news is good news. “Ini merupakan hal baru yang bisa menggantikan paradigma lama, bad news is good news. Wartawan dalam menulis berita dituntut untuk memberikan solusi, tidak hanya memaparkan kasus saja,” kata Abrar.(M.ILHAM)
Komentar