Lintassumbar.id – IMPROVE Indonesia bekerjasama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kepulauan Babel menyelenggarakan Webinar dengan tema “Pandemic and The Face of Humanity”, Kamis, 9/7. Diskusi ini mengkaji diskursus toleransi, radikalisme dan ketahanan nasional di masa pandemi.
Kegiatan ini dimoderatori oleh Mohammad Rafli Abbas, Project Manager Institute of ASEAN Studies UKI Jakarta. Dalam diskusi ini hadir berbagai pembicara yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Diskusi dimulai dengan paparan oleh Direktur Eksekutif IMPROVE Indonesia, Novendra Hidayat yang menyampaikan beberapa hal terkait diskursus pandemi dan wajah kemanusiaan. Pertama, diperlukan langkah-langkah kolaboratif dan sinergis dari seluruh pihak dalam mengantisipasi isu radikalisme.
Deradikalisasi perlu diteguhkan kembali hingga ke level dearah dengan melibatkan Pemerintah Daerah, kelompok masyarakat, pers, kaum muda, sekolah, kampus dan tokoh agama. Kedua, pentingnya membangun harmonisasi relasi pada berbagai komunitas masyarakat, baik berbasis agama maupun berbasis komunitas kebangsaan.
Ketiga, perlunya dialog-dialog ideologi yang lebih terbuka antar komunitas pada forum-forum intelektual sebagai wujud upaya menjaga keutuhan NKRI. Keempat, dibutuhkan sinkronisasi tugas pokok dan fungsi antar lembaga dalam penanganan pandemi Covid-19, hingga pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan ketahanan nasional di Indonesia. Sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih kebijakan antar lintas sektoral.
Ketua FKPT Babel, Sri Wahyuni mengatakan terdapat beberapa faktor yang memicu tindakan radikalisme di Indonesia, yaitu radikalisme yang berbasis ideologi keagamaan, kebangsaan, dan faktor kemiskinan dan krisis kepercayaan terhadap negara.
Ia meyakini pancasila sebagai ideologi penangkal radikalisme yang masih dapat diandalkan dewasa ini. Selain itu, diperlukan kampanye kewirausahaan di tiap daerah dalam upaya menekan angka kemiskinan dan pengangguran sehingga kesejahteraan meningkat dan tidak terjadi lagi kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Hardi Putra Wirman, pengamat politik dan militer IAIN Bukittinggi menyoroti persoalan radikalisme, pertahanan dan keamanan nasional tidak semudah yang dibayangkan. Persoalan radikalisme sifatnya non tradisional dalam artian musuh yang dihadapi tak nyata dan lebih bersifat soft power.
Situasi ini tentunya akan melibatkan berbagai faktor global. Disamping itu terorisme dewasa ini bercorak new terorism yang berbasis ideologi, agama dan non struktur. Terorisme gaya baru ini disebabkan oleh faktor-faktor transnasional atau aktor-aktor global yang bisa saja menggunakan teknologi sebagai alat untuk meneror, misalkan situs web dan media sosial.
Iskandar Zulkarnaen, Sosiolog Universitas Bangka Belitung menyebutkan saat ini menguat debat-debat spritual dan kemunculan komunitas ekstrim di tengah pandemi. Ia memetakan stratifikasi sosial gerakan radikalisme menjadi tiga bagian, antara lain (1) komunitas tepi/pinggiran yang merepresentasikan kelompok ekstrimis, (2) komunitas tengah merepresentasikan kelompok yang lebih moderat, (3) komunitas berbasis kebangsaan merepresentasikan masyarakarat yang memiliki nasionalisme tinggi.
Diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk merangkul kelompok tepi ke tengah dalam hal penyelesaian persoalan bangsa di tengah pandemi hari ini. Selain itu, perlunya ijtihad kemanusiaan antara kelompok masyarakat dan negara dalam merekat persatuan bangsa, mewujudkan ketahanan nasional.
Ikhsan Yosarie, peneliti Setara Institute mengatakan ada 3 perspektif dalam penanganan pandemi Covid-19. Pertama, perspektif yang menyebutkan Covid-19 sebagai persoalan kesehatan. Kedua, Covid- 19 sebagai masalah kebencanaan, dan ketiga, perspektif yang menyebutkan Covid-19 ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.
Perspektif yang terakhir ini menimbulkan berbagai macam diskursus dan polemik di tengah masyarakat. Polemik dimaksud identik dengan aspek militer, non militer, dan hibrid (penggabungan aspek militer dan non militer). Disamping itu, perspektif penanganan Covid-19 bisa saja merupakan ancaman perang asimetris yang melibatkan berbagai macam aktor-aktor global dalam bentuk proxy war (perang cyber). Dimana ada pergeseran definisi perang itu sendiri, dari social war menjadi net war. Sehingga pendekatannya menggunakan state security dan human security.
Muhammad Tahir, pegiat literasi milenial menyoroti peran generasi muda dalam upaya menangkal bahaya radikalisme di masa pandemi. Ia percaya salah satu resep ampuh menangkal radikalisme dan intoleransi saat ini adalah pengaktualisasian nilai-nilai pancasila pada seluruh elemen bangsa terutama pada kaum muda. Disamping itu, perlunya membangun sistem budaya toleransi di tengah masyarakat, dan pentingnya keterlibatan kaum muda dalam kampanye-kampanye nasionalisme dan cinta tanah air yang berbasis digital. (NH)
Komentar