Oleh: Eda Elysia: Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
“Kok anak ku kemarin menang di lomba A, bisa kalah di lomba B? Mereka ga tau aja, anak saya udah nyanyi di banyak event dan lomba bahkan udah go internasional…”
So what gitu loh…? Salah satu lirik lagu Saykoji yang bisa menjawab dengan menohok pertanyaan ini. Selintas kita merasa ini wajar terjadi. Hanya saja jika ini membuat si anak ga nyaman dengan sikap orang tuanya, ini yang bikin gawat alias “ambyar”. Selalu merasa si anak paling hebat. Udah sering menang lomba, skill nyanyi si anak yang paling keren sampai les nyanyi ke beberapa tempat les yang pastinya bikin anak bingung ga sih…karena masing-masing coach punya cara ngajar skill nyanyi yang beda juga.
Ini yang sering di cap “korban ambisi” orang tua. Saya mengamati dari setiap ajang lomba nyanyi di Kota Padang. Bukan pada satu ajang saja, namun hampir semua ajang lomba nyanyi di Kota Padang ini, ada unsur magic dari persatuan emak-emak tanpa nama ini, ya sebut aja emak rempong. Mereka lahir bukan disengaja namun mewakili ambisi dari hati, tapi ambisi hati emak rempong. Kalau udah selesai lomba, mereka sama-sama menghujat juri. Parahnya lagi tidak berhenti disaat itu aja, malah lanjut di dunia maya. Kayak udah di setting gitu, emak rempong saling tag akun facebook. Isi kolom komentar dari status yang dibuat oleh salah satu emak rempong, berisi komentar pedas berupa hujatan buat juri yang tidak pantas diposting lewat media sosial.
Ternyata ini tidak terjadi di daerah saja, tetapi juga terjadi di beberapa kota besar, salah satunya Jakarta. Jakarta sebagai representatif ajang lomba nyanyi bahkan pencarian bakat talenta muda. Masih ada aja yang komplain atas hasil penjurian dan sering protes ke panitia lomba. Teringat ketika saya sharing sama kang Arvin Zeinullah yang dikenal sebagai pelatih vocal di Gita Svara (Jakarta), pelatih paduan suara mahasiswa Unpad dan IPB, serta influencer bagi perkembangan paduan suara di Indonesia via direct message (DM) instagram beberapa waktu lalu. Kurangnya kesadaran orang tua kalau namanya lomba pasti ada yang menang dan ada yang kalah, tidak mau mengevaluasi apa yang jadi kekurangan penampilan anak karena terlalu merasa anaknya perfect, tapi yang paling penting di sini orang tua ga menyadari yang lomba itu anaknya bukan orang tuanya.
Sharing singkat via DM tersebut, membuka cakralawa kisi-kisi menyembuhkan virus ambisi ini, antara lain perlu diberikan bacaan atau tulisan terkait juri yang dipilih dalam suatu ajang lomba nyanyi atau seni dipilih berdasarkan kredibilitas, independen, tidak bisa diintervensi serta mempunyai pengalaman di bidang masing-masing.
Pengalaman ini tidak ada di bangku sekolah, ini juga yang harus disadari oleh orang tua bahwa anak jika ingin berhasil jadikanlah kekalahan sebagai bagian pengalaman mereka. Bukan di saat menang aja si anak dibanggakan. Ajari mereka sportifitas dan menghargai proses, tidak ada yang instan untuk bisa mewujudkan mimpi mereka menjadi penyanyi profesional.
Kuncinya berlatih dan berlatih… Exercise make it perfect …“Jadi tolong cam kan itu….” Salah satu lirik lagu dari Virgoun dapat mewakili tulisan ini agar orang tua di luar sana yang masih belum aware bisa lebih bijak dalam mensupport talenta anak-anak mereka. Bukan karena ambisi semata.
***