Oleh: Pangi Syarwi Chaniago*
Poros koalisi Gerindra-Demokrat-PKS dan PAN harus melakukan perhitungan yang sangat cermat dan tepat agar tak kalah, menyiapkan lawan tanding yang sebanding dengan poros Jokowi sebagai “juara bertahan” yang dalam berbagai kalkulasi dan jajak pendapat lembaga survei sampai saat ini masih unggul.
Maka dari itu, kapasitas, popularitas, akseptabilitas (penerimaan publik) terhadap kandidat menjadi pertimbangan yang sangat penting, membaca trend apa yang sedang disukai dan diinginkan publik serta mampu membaca sentimen publik, lalu menerjemahkannya ke dalam keputusan politik strategis yang populis sehingga mendapat dukungan yang luas dari masyarakat.
Sentimen publik dan tren politik yang sedang melanda negara-negara muslim di seluruh dunia-termasuk Indonesia- hari ini adalah dengan menguatnya semangat (ghirah) gelombang “Populisme Islam”, sebagai varian dari populisme politik yang juga berkembang di negara-negara Barat dan juga telah sampai berkembang di Indonesia.
Polpulisme Islam telah merambah ke dalam dinamika politik nasional dan telah mengkristal menjadi sebuah kekuatan politik baru yang telah menemukan momentumnya dalam pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu.
Populisme Islam yang menjelma menjadi salah satu kekuatan politik, kini juga ikut memainkan peranan yang cukup strategis dalam rangka menggalang kekuatan untuk mendukung atau tidak terhadap poros koalisi yang sudah terbentuk, Ijtima Ulama, GNPF 212 sebagai aksi nyata dari gerakan ini.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh gerakan ini menjadi pertimbangan penting, menjadikan sebagai daya tawar dan lobi (bergaining position) politik di kubu Prabowo yang semakin dinamis di tengah semakin bertambahnya partai yang bergabung dalam koalisi Prabowo.
Paket mana yang dikeluarkan sebagai hasil rekomendasi dari Ijtima’ ulama GNPF yakni Salim Segaf Al-Jufri dan Ustad Abdul Somad (UAS) adalah dua nama yang punya basis massa dan dukungan kuat di akar rumput. Salim Segaf Al-Jufri adalah Ketua Majelis Syura PKS, mantan menteri Sosial era SBY dan juga pernah menjadi duta besar RI untuk Arab Saudi dan Oman.
Tidak hanya itu, beliau juga merupakan keturunan Ulama besar Palu, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau lebih dikenal dengan nama “Guru Tua ” pendiri yayasan Al-Khairaat. Beliau juga masih punya garis hubungan sangat dekat dengan Habaib dan juga dekat dengan kiyai NU, dan tokoh Muhammadiyah, cenderung lebih moderat dan mampu berkomunikasi dengan semua kelompok dan kekuatan Islam mana pun.
Oleh karena itu, penerimaan (akseptabel) terhadap sosok ini cukup luas sehingga upaya menyatukan kekuatan Islam yang menjadi agenda politik dikalangan umat Islam akan menemukan momentum yang tepat dan kian nyata.
Di sisi lain, Salim Segaf Al-Jufri juga sudah berpengalaman dalam urusan pemerintahan (punya jam terbang) dengan posisi strategis sebagai menteri sosial dan duta besar. Tentu saja menjadi modal yang sangat berharga untuk menjadi wakil presiden jika nanti beliau berjodoh dipasangkan dengan sosok Prabowo Subianto.
Rekomendasi dari ulama yang tergabung dalam GNPF ini menjadi pertimbangan yang sangat penting bagi Prabowo, jika ingin memenangkan pilpres 2019 dengan dukungan kuat dari kalangan Islam dibandingkan dengan mengambil nama lain dari kalangan nasionalis seperti AHY.
Bagaimana pun juga nama AHY masih sulit representasi (afialiasi) mengambil suara ulama. Representasi Ulama faktor determinan menentukan yang ngak bisa dipandang remeh dalam kemenangan, disaat menguatnya sintemen popolisme Islam. Maka, Prabowo-AHY kombinasi yang kurang menjual dan kurang tepat, karena sama-sama militer, sama-sama nasionalis, ceruk segmen Prabowo-AHY juga sama irisannya. Kita bisa bayangkan dan mudah memprediksi (forecast) simulasi pertarungan peta lama misalnya Prabowo-AHY berhadapan dengan Jokowi-Mahfud MD. Sebaliknya akan keras benturan pertarungan dan sulit diprediksi apabila Prabowo-Salim Segaf head to head dengan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Beliau belakangan santer menjadi bahan pemberitaan dan perbincangan publik setelah partai Demokrat menyatakan dukungannya ke Prabowo. Hal ini setidaknya bisa dilihat dengan beberapa pertimbangan. Pertama; nama pasangan Capres-Cawapres dari kubu prabowo harus mempertimbangkan kombinasi ideal (equilibrium) yakni Nasionalis-Religius untuk dapat menjangkau episentrum pemilih yang lebih luas.
Kedua; sentimen publik sebagai bentuk Populisme Islam harus direspon dengan meng-akomodasi rekomendasi dari Ijtima’ ulama sebagai representasi dari gerakan ini, sehingga gerakan ini semakin solid dan mengarahkan dukungannya kepada kandidat yang mewakili kepentingan gerakan ini.
Ketiga; upaya yang serius dari poros Jokowi untuk merangkul kalangan Islam dengan pendekatan intensif kapada para Ulama, Santri, Cendikiawan Muslim dan Ormas Islam. Jokowi ingin mengambil posisi tidak berseberangan dengan kekuatan Islam, sehingga perlahan tapi pasti Jokowi sudah berhasil memperluas basis dungannya yang tidak hanya dari kalangan ceruk segmentasi nasionalis. Jika ini tidak dibaca dengan cermat oleh kubu Prabowo maka peluang Jokowi untuk kembali memenangkan pilpres semakin terbuka lebar.
Oleh karena itu, dari beberapa pertimbangan di atas maka kombinasi Nasionalis-Religius sepertinya akan menghiasi persaingan dan kompetisi dalam pilpres 2019 mendatang. Pasangan Prabowo-Salim Segaf Al-Jufri akan menjadi lawan tanding yang sebanding, cukup keras dan sengit ujung kompetisinya. Artinya cukup merepotkan dan menyulitkan ruang gerak Jokowi dan pasangannya.
Itu bukan berarti Jokowi tak punya nama Cawapres yang cukup diperhitungkan, ada banyak nama seperti Ma’ruf Amin yang merupakan ketua MUI dan juga dekat dengan kalangan NU, ada juga nama seperti Mahfud MD dan TGB yang juga punya basis yang cukup kuat dan diperhitungkan dikalangan Islam. ***
*Pengamat Politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Komentar