Oleh: Sadri Chaniago*
Bermula untuk keperluan penulisan tesis dalam rangka memperoleh gelar master ilmu politik di Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2009, sampai saat ini penulis masih “bergelimang” dengan kajian kiprah politik tuanku Syathariyah, khususnya di Padang Pariaman yang merupakan “pusek jalo pumpunan ikan“ dan “jantung-nya” pergerakan kaum tarekat Syathariyah di Minangkabau.
Beberapa buah artikel dan makalah hasil penelitian terkait dengan kiprah politik tuanku Syathariyah ini sudah penulis publikasikan dalam jurnal ilmiah, dan dipresentasikan dalam sesi paralel dalam seminar dan konferensi ilmiah di berbagai tempat, seperti: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Andalas Padang, Universitas Negeri Yogyakarta, IAIN Raden Intan Lampung, dan lain lain.
Puncaknya, kompilasi hasil penelitian penulis tersebut telah dibukukan dengan judul: “Tuanku dan Politik, Kiprah Ulama Tarekat Syathariyah dalam Dinamika Politik Lokal di Minangkabau.” Buku ini merupakan salah satu dari 99 (sembilan puluh sembilan) naskah yang dibiayai oleh Program Hibah Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi Tahun 2015, yang diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kementerian Riset, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Dalam konteks kajian penulis, istilah “tuanku” dimaknai sebagai: gelar khusus bagi ulama tradisional (termasuk dalam kalangan tarekat Syathariyah) di Minangkabau. Mereka merupakan tokoh panutan, berfungsi sebagai guru yang memiliki kedudukan penting sebagai pemimpin kerohanian dalam kalangan tarekat Syathariyah dan umat Islam pada umumnya.
Petuahnya didengar, tingkah lakunya diikuti, dan dijadikan rujukan oleh murid dan jamaah dalam pengambilan keputusan dalam aspek keagamaan, sosial dan juga politik. Tuanku ditempa di pondok pesantren “surau” tradisional, merujuk kepada kitab kuning dan tradisi, ber-tarekat Syathariyah, menjadi “tepian adat, halaman Syara’, yang duduk bercerminkan kitab.
Dan tentu saja, dalam konteks Sumbar, Ulakan Pariaman merupakan “basis” utama tarekat Syathariyah. Di sana berkubur Syekh Burhanuddin (pengembang Islam dan tarekat Syathariyah di Minangkabau), murid dari Syekh Abdurrauf al-Singkili di Aceh. Jamaah tarekat Syathariyah juga tersebar di Pariaman, Padang, Pesisir Selatan, Sawahlunto, Sijunjung, Dharmasraya, Tanah Datar, Agam, Solok, Padang Panjang, dan lain lain.
Keberadaan tuanku dan jamaah tarekat Syathariyah ini menjadi menarik untuk dikaji, karena memiliki potensi politik sebagai ‘kantong suara” yang selalu diperebutkan oleh kandidat dalam berbagai agenda politik elektoral, terutamanya dalam Pilkada dan Pileg. Walaupun tuanku pada dasarnya merupakan pemimpin keagamaan dalam komunitas tarekat Syathariyah, namun mereka tidak dapat menghindari aktifitas politik. Tuanku selalu bersentuhan dengan pelaku politik praktis, menjadi pengurus parpol dan anggota DPRD, menjadi tim sukses dan memberikan dukungan politik kepada kandidat di pilkada.
Pada musim pilkada, para tuanku senior umpama “magnet” bagi kandidat, menjadi perantara politik antara kandidat dengan murid dan jamaahnya. Mereka biasanya sering dikunjungi oleh kandidat untuk mendapatkan “berkah” dan dukungan politik. Apabila kandidat mampu “meyakinkan” para tuanku senior untuk memberikan dukungan politik, maka dimungkinkan dukungan politik tersebut juga akan diikuti oleh jaringan murid dan jamaah tarekat Syathariyah.
Dalam konteks di Padang Pariaman dan Sumbar, di era pilkada langsung belakangan ini terlihat mulai ‘menggeliatnya” kiprah politik tuanku Syathariyah, yang diantaranya dapat dilihat dari fenomena dukungan politik mereka kepada kandidat yang berlaga.
Salah seorang tuanku senior yang merupakan ulama panutan bagi jamaah tarekat Syathariyah di Sumbar – yang sering memainkan peran penting dalam memberikan dukungan politik kepada kandidat dalam Pilkada – adalah Zubir Tuanku Kuniang (Wafat 29 Oktober 2016). Pada pilkada Padang Pariaman tahun 2005 misalnya, Zubir Tuangku Kuniang beserta jaringan tuanku Syathariyah memberikan dukungan politik kepada Muslim Kasim – Ali Mukhni, yang akhirnya terpilih menjadi Bupati dan wakil bupati Padang Pariaman periode 2005-2010.
Sementara itu pada pilkada Padang Pariaman tahun 2010, Zubir Tuangku Kuniang dan jaringan tuanku Syathariyah di Padang Pariaman juga memberikan dukungan politik kepada Yobana Samial dan Dasril (Yobana – Ril), yang dikongkritkan melalui “pamflet” yang ditandatangani-nya langsung. Zubir Tuangku Kuniang juga memberikan dukungan politik kepada Ali Mukhni – Suhatri Bur (AM – SB) pada pilkada Padang Pariaman tahun 2015, yang hari ini menjadi bupati dan wakil bupati Padang Pariaman.
Pada Pilkada Sumbar tahun 2010, terjadi dualisme dukungan politik tuanku kepada kandidat. Para tuanku di bawah komando Zubir Tuanku Kuniang dan Azwar Tuanku Sidi memberikan dukungan politik kepada Irwan Prayitno – Muslim Kasim (IP – MK). Sementara itu, sekelompok tuanku di bawah pimpinan Ismet Ismael Tuanku Mudo dan Darwinis Zein Tuanku Sutan Majolelo, mendukung Endang Irzal – Asrul Syukur. Kemudian pada Pilkada Sumbar tahun 2015, di bawah komando Zubir Tuanku Kuniang dan Ismet Ismail Tuanku Mudo, para tuanku tarekat Syathariyah memberikan dukungan politik kepada Muslim Kasim – Fauzi Bahar (MK – FB), yang dinyatakan melalui dokumen dukungan yang ditanda-tangani oleh para tuanku senior tersebut.
Biasanya, pertimbangan utama tuanku Syathariyah dalam memberikan dukungan politik kepada kandidat adalah: komitmen kandidat untuk memperhatikan kepentingan dan mengakomodir prinsip, kultur, serta amaliyah tarekat Syathariah.
Menyikapi tidak mungkinnya menghindari keterlibatan tuanku Syathariyah dalam pilkada dan agenda politik lainnya, maka kalangan tuanku dan jamaah tarekat Syathariyah harus memainkan peran politik dengan cerdas, menghindari prilaku politik pragmatis, memakai prinsip maresek sahabih gauang, manimbang sahabih raso, baiyo dan batido, serta menjadikan kepentingan jamaah tarekat Syathariyah sebagai prioritas utama dalam setiap gerak dan keputusan politik.
Selain itu, juga dipandang penting dilakukannya penyamaan persepsi, karena tuanku dan jamaah Syathariyah masih ‘terbelah” dalam memahami dan menyikapi aktifitas sebagian tuanku dalam politik praktis. Sebagian ada yang menganggap bahwa keterlibatan tuanku dalam Pilkada dan dunia politik, hanya akan membuat “marwah” tuanku menjadi turun, karena politik dianggap sebagai hal yang “kotor”, sehingga dikhawatirkan akan membuat tuanku menjadi terkontaminasi dengan hal hal yang tidak baik. Bagi mereka yang berdiri dalam shaf pemikiran seperti ini, “Khittah” tuanku itu adalah di surau, menjadi ulama, mengajar para santri yang akan menjadi bakal ulama. Menerjuni dunia politik dianggap “penyimpangan” khittah tuanku.
Sedangkan sebagian tuanku yang memiliki kecenderungan berkiprah dalam politik, malah memandang bahwa aktifitas dalam dunia politik tidak akan merusak khittah tuanku. Aktifitas dalam dunia politik adalah salah satu bagian dari ladang dakwah Islam, dan untuk memperjuangkan kepentingan tuanku dan jamaah tarekat Syathariyah. Terbelahnya pemahaman ini, agaknya menjadi kontra produktif terhadap efektifitas pencapaian hasil kiprah politik tuanku.
Terlepas dari perdebatan efektifitas dan korelasi dukungan politik mereka terhadap kemenangan kandidat dalam Pilkada, untuk ke depan, segmen politik tuanku dan jamaah tarekat Syathariyah ini agaknya masih cukup strategis dan menentukan dalam Pilkada dan dinamika politik lokal lainnya.
*Dosen Ilmu Politik FISIP Unand