Sadri Chaniago*
Hari raya Idul Fitri tahun ini telah berlalu lebih kurang satu minggu. Baju baru yang dipakai pada hari raya sudah tidak baru lagi. Toples yang berisi kue kue lezat, sudah tinggal keraknya saja. Uang THR sudah habis dibelanjakan untuk keperluan hari raya. Berbagai acara silaturahmi berupa temu kangen alumni sekolah (reuni) dan halal bi halal pun tinggal satu dua saja lagi. Rutinitas kehidupan sudah kembali berputar normal, apa adanya seperti biasa. Segala suasana sukacita “kemenangan” di hari raya pun sudah tak terasa lagi. Sungguhpun suasana hari raya sudah berlalu, namun bagi diri penulis pribadi masih ada sesuatu ‘terkilan kilan” di hati, dan mengganjal dalam kepala, yaitu tentang fenomena mulai bergesernya “nilai” perantau di mata masyarakat di kampung.
Pada era tahun 1980-an sampai 1990-an merupakan era ‘keemasan” para perantau Minang, yang berhasil melahirkan banyak “Orang Kaya Baru” atau “Orang Baru Kaya”. Sudah jadi hukum alam, masyarakat di kampung pun sangat “meng-agungkan agungkan” mereka. Bahkan, kepulangan perantau ke kampung dalam rangka berhari raya, merupakan salah satu indikator situasi ekonomi yang sedang terjadi. Ekonomi dianggap baik dan stabil, apabila banyak perantau yang pulang kampung. Sebaliknya, ekonomi dianggap tidak stabil apabila tidak banyak perantau pulang kampung, sehingga keluar ungkapan masyarakat di kampung: “dingin hari rayo, ndak banyak urang rantau nan pulang.”
Kebanyakan perantau di era kejayaan tersebut bekerja di sektor informal, menjadi tukang jahit pakaian (tailor), tukang sepatu, dan manggaleh. Sebagian dari mereka kemudian ‘terkulai” dihantam efek industri konveksi dan garmen, serta berdirinya pabrik sepatu. Bagi yang manggaleh, menjamurnya mall dan super market memperparah kondisi mereka, karena mereka biasanya memiliki basis ekonomi di pasar pasar. Puncaknya, hantaman krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1998, menyebabkan perantau yang hanya memiliki modal “satu lapis” bangkrut, dan pulang “habis” ke kampung.
Di era kejayaannya, perantau sangat “berharga” dan “harum” namanya di tengah masyarakat. Perantau yang “berhasil”, menjadi buah bibir di lapau, di surau, di sawah, dan di berbagai tempat lainnya. Orang tua, mamak, dan keluarganya turut pula kecipratan “tuah” dari keberhasilannya tersebut. Apabila si perantau sukses itu sering berkirim “amplop” tebal sebagai “uang panggilan” dalam setiap kegiatan dan acara acara di kampung, maka semakin bertambah membubung dan ‘harum” namanya. Dalam tradisi ‘badoncek” masyarakat Pariaman, bisa berulang ulang kali nama dan jumlah sumbangan ‘amplop” perantau sukses itu disebut oleh “tukang sorak” pemandu pengumpulan dana. Apabila ia masih ‘bujang”, maka tukang sorak akan berulangkali mempromosikannya sebagai “padi kuniang”, yang siap “dituai” oleh yang berminat. Para orang tua dan mamak yang memiliki anak dan kemenakan berstatus “gadis”, mulai “berbisik bisik”, “bamunggu munggu kaciak, ba padang padang bilah”, teringin hendak mempersemenda si perantau sukses itu ! Berapa pun uang jemputannya, akan dipenuhi. Biarlah kalah membeli, asalkan menang memakai. Jika cocok perundingan dan nan dimukasuik sampai, nan diama pacah, maka akan terangkat juga nasib “si upiak” dan menambah tuah keluarga. Maka “lanyah” lah halaman rumah orang tua perantau sukses itu oleh jejak telapak kaki orang yang mengantarkan “carano”, yang ingin menjemputnya sebagai menantu.
Jika si perantau sukses pulang kampung dalam rangka ber-hari raya, maka ia akan “ditatiang” seperti minyak penuh oleh keluarga dan orang kampung. Penampilannya jangan ditanya lagi. Pakaiannya bagus dan licin “tagak sandiang”, baunya harum, sepatunya mengkilat, rokoknya “Dji Sam Soe”, dan minumnya minuman kaleng berkarbonasi, mobilnya mengkilat, terkadang memakai gelang dan kalung emas sebesar “jari”. Jika duduk di lapau, ia otomatis akan menjadi “nara sumber” – menjadi “pusat dunia”, dengan topik pembicaraan ke hilir kemudik; tentang perjuangan kesuksesannya di rantau, tentang kondisi majunya daerah tempat ia merantau, bahkan ‘kaji tinggi” tentang politik dan agama pun dibahasnya, walaupun ia tidak tamat SD atau SMP. Ujung ujungnya, ia mempersalahkan pikiran, tata cara kehidupan di kampung yang dianggap kolot dan tak mau berubah menjadi “moderen”. Ketika ‘berceramah, katanya didengarkan orang, tak ada yang berani menyolang karena sudah terhimpit lidah dibayarkan makan atau minum di lapau. Semua mengangguk angguk, bak burung balam “tigo ghayo.” Bahkan, jika ia bermain judi dan meminum minuman keras plus mengkonsumsi narkotika secara terbuka di lapau, tak ada yang berani “me-nyolang-nya”, karena semua orang “segan” kepadanya. Terkadang, Ninik Mamak dan Tuo Kampung pun diam saja melihat perangainya ini.
Tapi itu dulu tuan!
Sekarang sudah berbalik arah “penebangan” itu. Seiring sulitnya kondisi ekonomi sektor informal, pemerataan pembangunan di daerah, meningkatnya status sosial dan ekonomi masyarakat di kampung, pesatnya perkembangan teknologi informasi, membuat jurang pemisah kondisi di rantau dan di kampung semakin sempit.
Merosotnya sektor kehidupan informal di rantau, membuat tidak semua perantau sukses seperti dulu, banyak kehidupannya yang ‘marasai” dan tidak sedikit yang pula pulang “batabuih.” Sementara itu di kampung sebagian masyarakat sudah berhasil bekerja di sektor formal, yang pendapatannya mulai membaik, tidak lagi seperti dulu yang gaji per bulannya hanya cukup bertahan hidup untuk seminggu. Jika dulu mobil berkilat dan rumah bagus itu hanya ada “dalam mimpi”, sekarang mereka sudah bisa memilikinya. Dengan pemerataan pembangunan, segala fasilitas yang dulu identik dengan dunia moderen di “rantau”, sekarang juga sudah ada di kampung. Jalan mulus ada di mana mana, mall dan super market juga sudah menjamur. Orang rantau makan steak, pizza, burger, dan sebagainya, orang di kampung juga sudah memakan itu. Jika dulu bakso, pecel lele, dan nasi uduk itu hanya bisa dibayangkan dalam cerita orang rantau, maka sekarang sudah ‘berleak” orang menjualnya di pelosok kampung.
Demikian juga dengan perkembangan teknologi informasi, membuat informasi yang terjadi di rantau bisa diakses dengan cepat oleh masyarakat di kampung. Gadget dan internet bukan barang asing bagi masyarakat.
Perkembangan pesat di kampung yang “kejar berkejar” dengan perkembangan di rantau, telah membuat daya tawar masyarakat di kampung menjadi meningkat terhadap perantau. Konsekuensinya, mereka bukan lagi pendengar yang “mencawan” dan meng-angguk angguk balam saja ketika berhadapan dengan orang rantau. Ada indikasi menurunnya “daya tawar” perantau, sehingga mereka tidak lagi diposisikan “lebih” seperti halnya dulu, ketika dunia belum “terbuka”. Ini bukan berarti perantau tidak lagi dihargai oleh orang kampung. Hanya “kadarnya” saja yang sudah mulai berkurang. Zaman beralih, musim berganti, sekali aia gadang, sakali tapian berubah. Agaknya benar, perantau tidak lagi “seharum” dulu, seperti ketika di zaman kejayaannya!
*(Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)
Komentar