Oleh: Oyong Liza Piliang*
Kemarin saya sempat menemani dua orang ‘adik’ mengikuti pra ujian kompetensi wartawan (UKW) di kantor PWI Sumbar di Padang, Kamis 3 Mei 2018. Selagi menunggu mereka menjalani serangkaian acara di lantai dua kantor PWI, saya duduk di ruang tamu PWI lantai satu.
Pembicaraan hangat oleh dua orang wartawan yang duduk di depan saya cukup menyita perhatian. Mereka membahas kasus media Haluan versus Gubernur Sumbar Irwan Prayitno. Kasus tersebut sebelumnya telah saya ikuti di media sosial dan grup-grup WhatsApp wartawan.
Jujur saja dalam hati saya ingin bergabung dalam pembicaraan tersebut. Namun karena pembahasan mereka tidak fokus, saya urungkan niat itu. Ada yang pro IP sapaan Irwan Prayitno dan membela Haluan khususnya kepada Bhenz Maharajo, wartawan di media milik pemultiusaha Basrizal Koto itu.
Secara pribadi saya berpendapat Gubernur Irwan Prayitno terlalu cepat mengambil sikap dengan mempolisikan Yusafni Ajo, Bhenz Maharajo dan Maidestal karena dianggap melakukan pencemaran nama baiknya. Terkhusus membela Bhenz Maharajo yang memposting tautan berita dengan menambahakan kalimat kutipan di media sosial Facebook.
Pengakuan Yusafni Ajo yang mengaku menyerahkan uang Rp500 juta untuk pembuatan baliho kampanye Irwan Prayitno pada 2015 kepada wartawan menjadi fokus berita Harian Haluan beberapa hari belakangan. Muara dari semua persoalan tersebut.
Bhenz Maharajo selaku wartawan Haluan layak kewajibannya menshare setiap berita tempat ia bekerja. Itu bentuk dari loyalitas dan tanggungjawab moral kepada perusahaan. Dengan banyaknya postingan berita dibaca, tentu menguntungkan bagi portal Haluan itu sendiri. Dengan banyaknya berita dibaca (hits) akan menaikan rating portal Haluan di perankingan Alexa.com atau Similiar.com. Sepengetahuan saya, Bhenz Maharajo tidak salah sedikitpun.
Jika pun IP tidak berkenan dengan pernyataan Yusafni Ajo, ia bisa dengan mudah membantahnya. Lisan berbalas lisan, tulisan berbalas tulisan. Atau jika IP menganggap Yusafni Ajo berkata bohong, tempuh jalur hukum. Hanya akan ada Yusafni Ajo versus IP.
Sebagaimana diketahui, wartawan Haluan mengutip pengakuan Yusafni Ajo yang menyatakan bahwa uang tersebut diserahkan di belakang Kantor Gubernur Sumbar pada 2015 lalu dan dijemput oleh orang kepercayaannya yang juga berstatus pejabat teras di Pemprov Sumbar. Apa yang diucapkan Yusafni Ajo, tentu itulah yang ditulis oleh Haluan sesuai kaedah jurnalistik.
Terlepas dari bisik-bisik yang menyebut Harian Haluan “oposisi” pemerintahan Irwan Prayitno, akhir-akhir ini saya memuji sejumlah pemberitaan heboh Harian Haluan seperti Sumbar dengan LGBT-nya. Haluan mampu menyajikan fakta yang mungkin saja selama ini belum sempat terangkat ke permukaan karena timbang sana timbang sini oleh media.
Membawa Wartawan dan Media ke Ranah Hukum
Kebebasan pers harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Baik oleh penguasa, penegak hukum, pemodal atau pemilik media hingga wartawan itu sendiri. Kebebasan pers adalah pembuluh venanya demokrasi. Tanpa pers yang bebas, pemimpin cenderung tirani.
Membawa kasus produk jurnalistik ke ranah hukum tanpa menyigi dengan benar sebuah pemberitaan tersebut sebuah karya jurnalistik atau tidak, merupakan tindakan yang emosial. Tergesa-gesa dan “amarah”.
Saya bisa memahami kedongkolan IP atas pemberitaan Haluan. Apalagi jika hal tersebut (pemberian uang oleh Yusafni) benar-benar tidak bersangkut paut dengannya. Tidak sepengetahuannya atau bisa saja oknum tertentu (penerima) benar-benar menerima uang dari Yusafni, tapi tak sampai ke IP. Atau si oknum menjual nama IP demi kepentingan pribadinya memanfaatkan momentum Pilgub 2015.
Ketidakbersalahan (anggap saja) yang dirasakan IP mendorong ia mesti melawan demi nama baik. Itu bisa dibenarkan. Namun saja, langkah yang ia ambil memperlihatkan sikap yang gegabah. Terkait pemberitaan IP bisa melakukan klarifikasi. Menggelar konferensi pers atau memberikan hak jawab atas pemberitaan Haluan yang dia anggap merugikan itu.
Niat IP yang akan mengadukan Haluan ke Dewan Pers juga terlalu premature, meski bisa dibenarkan. Citra IP yang selama ini dikenal kalem dan bersahaja agak luntur oleh langkah yang ia ambil tersebut di mata saya.
Bhen Maharajo dan Haluan dalam kasus ini adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Pemberitaan Haluan sepenuhnya tanggungjawab redaksi Haluan. Lucu saja rasanya mempolisikan Bhenz Maharajo sementara surat kabar Haluan akan diadukan ke Dewan Pers.
Perihal senggol menyenggol nama dalam kasus korupsi hal wajar di pemberitaan media. Sebut saja di kasus KTP elektronik. Dalam persidangan ada saja terucap nama-nama baru yang disebut kecipratan uang. Bahkan dalam sidang dengan terdakwa Setya Novanto yang menyebut nama Puan Maharani dan Pramono Anung, heboh di media massa. Hits hampir sebulan. Media melahap informasi tersebut dengan judul-judul boombastik. Di kupas dalam pelbagai bentuk: editorial, infografis dan karikatur. Tak ada saya dengan Puan dan Pramono Anung mempolisikan wartawan yang menulis namanya. Tak saya dengar pula mereka hendak mempolisikan media yang memfolowup berita tersebut.
Media-media di daerah memang jauh berbeda dengan media di pusat yang dekat langsung dari sumbu kekuasaan. Pejabat-pejabat di daerah pun umumnya alergi akan berita negatif tentang dirinya. Kolaborasi media yang toleran dan pejabat yang alergi akhirnya melahirkan peristiwa seperti IP versus Haluan.
*Praktisi media