Oleh: Syofyardi Bachyul Jb*
Apa yang diharapkan seorang buruh dalam sistem kapitalisme? Kepuasan terhadap hasil kerjanya atau upah yang ia terima?
Jika ia bekerja untuk satu bagian dalam rantai “mesin” yang sudah terukur dan tidak membutuhkan kreativitas individual, apakah pekerjaanya akan memuaskan? Jika ia sakit orang lain akan bisa menggantikan. Jika ia berhenti siapa saja akan segera mengambil tempatnya.
Tidak ada orang yang kehilangan. Buruh adalah onderdil dari sebuah mesin. Jika onderdil itu mengganggu kelancaran mesin, misalnya lecet, rusak, atau tua, maka ia disingkirkan, diganti dengan onderdil baru. Ia hilang tak berbekas.
Begitulah kaitan buruh dengan industri. Termasuk di industri pers.
Pers di Indonesia beralih fungsi dari “pers perjuangan” menjadi “pers industri” pada era Orde Baru. Revolusi telah berakhir, saatnya negeri ini menjunjung kapitalisme. Undang-Undang Pokok Pers dibuat, di dalamnya termaktub pers industri.
Lalu kepemilikan media pers yang identik dengan wartawan kawakan pun bergeser menjadi kepemilikan pengusaha kawakan, terakhir konglomerat kawakan. Maka bisnis pers pun nyaris disamakan dengan bisnis lainnya: perkebunan sawit, perhotelan, pertambangan, dan lainnya.
Bedanya, kata serang teman, di perusahaan nonpers, pengusahanya lebih patuh kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Begitu Upah Minimum Provinsi (UMP) dinaikkan mereka segera menyesuaikan upah buruhnya. Jika ada yang tidak mampu, mereka segera bersurat kepada Dinas Ketenagakerjaan minta penundaan pembayaran.
Perusahaan nonpers ini juga patuh kepada kontrak pegawainya. Ada yang dikontrak sesuai Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) untuk pekerjaan musiman atau sementara. Isi kontraknya jelas, saya mengerjakan ini dalam sebulan dan dibayar per bulan.
Di perusahaan pers? Banyak wartawan daerah yang lebih tiga tahun (bahkan belasan tahun) tetap menjadi buruh per berita. Ada juga yang disodori surat kontrak, tapi semacam “kontrak bodong”, sebab tidak ada kewajiban dan hak bulanan.
Yang ada, ya sama dengan bayaran per berita: dia mengirim berita ke redaksi, jika dimuat dikasih honor, jika tidak dimuat tanggung sendiri, meski biaya liputan sudah dikeluarkan. Padahal berita yang tidak dimuat itu seringkali bukan karena masalah pada wartawan bersangkutan, melainkan redaksi sendiri yang mengurangi slot atau halaman.
Bahkan uniknya, berita yang tidak dimuat itu ada yang dikerjakan setelah diperintahkan redaktur. Mana ada kondisi seperti ini terjadi di perusahaan sawit, perhotelan, cleaning service, dan sebagainya.
Jadi, untuk May Day (Hari Buruh Sedunia) 1 Mei 2018 saya ucapkan doa terbaik kepada para wartawan (tak di) kontrak di seluruh Indonesia. Semoga para sang berkuasa di perusahaan media (termasuk pimpinan redaksi) tergerak hatinya untuk peduli kepada Anda.
Saya tahu Anda tetap merasa bukan bagian dari sekrup, tetapi jurnalis pejuang. Juga bukan bagian kapitalisme. Karena itu Anda hanya tertawa bahagia dan makan dengan lahap usai bekerja. (*)
NB: Buruh pers menikmati “Soto Alam Roh” di Pasar Terapung Martapura.
*Ketua Majelis Etik Nasional AJI Indonesia
Komentar