Sadri Chaniago |
Oleh: Sadri Chaniago, S. IP, M. Soc. Sc.
Pada pertengahan tahun 2014 silam, Penulis pernah terlibat sebagai salah seorang “peneliti wilayah” dalam proyek penelitian berbentuk survey ahli, yang bertujuan untuk membandingkan kampanye-kampanye dalam Pilkada & Pileg di berbagai wilayah di Indonesia. Penelitian ini diselenggarakan oleh The Royal Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) Leiden Belanda, yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Peneliti utamanya adalah Ward Berenschot, Ph.D, yang merupakan seorang peneliti di KITLV Leiden, yang fokus mendalami tentang demokrasi dan politik identitas di India dan Indonesia.
Penelitian tersebut dapat dikatakan sebagai penelitian yang cukup besar, karena dilakukan di 38 daerah kabupaten dan kota di Indonesia, dengan melakukan 570 survey terhadap responden ahli. Penulis diamanahkan untuk melakukan penelitian di salah satu wilayah kabupaten di Sumatera Barat. Setelah lebih kurang 4 tahun berlalu, pada tanggal 9 April yang lalu penulis menerima email dari Ward Berenschot, yang ternyata berisi hasil final dari penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 2014 tersebut.
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan terjadinya praktek klientelisme politik (political clientelism), yang mencakup ranah ekonomi politik. Secara umum, klientelisme politik dimaknai sebagai terjadinya praktek memberikan sesuatu yang dilakukan oleh politisi atau kandidat dalam Pilkada & Pileg, berupa: bantuan pribadi, lapangan pekerjaan, kontrak kontrak proyek, dukungan kesejahteraan, uang, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, antara kandidat dengan pemilih atau tim sukses telah melakukan praktek “pertukaran”, dimana pemilih dan tim sukses menukarkan suara dan dukungannya dengan berbagai janji dan pemberian dari kandidat, sedangkan kandidat “menukarkan” berbagai janji dan pemberiannya dengan suara yang diberikan oleh pemilih dan tim sukses. Ini bermakna telah terjadi “transaksi politik” antara kandidat dengan pemilih, di mana ada praktek “kerja sama yang saling menguntungkan” (simbiosis mutualisme).
Ya, seperti yang dikatakan ungkapan pantun : ada ubi ada talas, ada budi ada balas ! Praktek klientelisme politik dalam konteks ini adalah aktifitas saling “membalas budi” di pihak dalam lingkaran tersebut. Hal seperti inilah yang membuat Hutchcroft (Aspinal & Sukmajati, 2015) menyebut klientelisme sebagai karakter relasi antara politisi dengan pemilih dan pendukung, sebuah relasi kekuasaan yang bersifat personalistik. Hicken (Aspinal & Sukmajati, 2015) menyimpulkan bahwa dalam klientelisme mengandung tiga unsur, yaitu: kontingensi atau hubungan timbal balik, hierarkhis (relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara politisi dengan pemilih atau timses), dan pertukaran klientelistik berlangsung terus menerus.
Dalam fenomena politik di Indonesia, praktek pertukaran dalam politik yang bersifat klientelistik sangat umum terjadi, dan banyak sumber daya negara/daerah yang dihadiahkan kepada orang-orang dan perusahaan yang mendukung kampanye dalam Pilkada & Pileg. Maraknya praktek klientelisme politik dalam Pilkada & Pileg di Indonesia ini semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia menganut sistem demokrasi patron.
Paling tidak, terdapat 6 bentuk pertukaran transaksional bersifat klientelistik yang lazim dan umum terjadi di antara kandidat dengan pemilih dan tim sukses, yaitu: Pertama, memberikan akses ke pelayanan publik melalui perwakilan pemerintah di tingkat lokal. Kedua, Memberikan pekerjaan untuk para pendukung (setelah terpilih). Ketiga, Memberikan uang (dan barang) selama kampanye, (dan serangan fajar ketika pemungutan suara). Keempat, Memberikan kontrak-kontrak pengerjaan proyek tertentu kepada para pendukung/tim sukses (setelah terpilih), Kelima, Memprioritaskan memberikan dana bantuan sosial (bansos) kepada pendukung/tim sukses (setelah terpilih). Keenam, Mengeluarkan (memudahkan) pemberian izin bisnis kepada para pendonor dana kampanye (setelah terpilih).
Pilkada Serentak tahun 2018 dan peluang praktek Klientelisme Politik
Nah, bagaimana dengan peluang praktek klientelisme politik pada Pilkada serentak tahun 2018 ini ? Menurut hemat penulis, demokrasi patron yang dipraktekan dalam bentuk klientelisme politik ini masih akan tetap terjadi dan belum bisa terkikis habis sepenuhnya. Walaupun KPUD dan Bawaslu di daerah telah diberikan “taji” yang cukup tajam oleh produk perundang undangan untuk mengantisipasi berbagai bentuk pelanggaran money politic dan vote buying selama kampanye, namun sepertinya itu belum akan memberikan dampak maksimal, karena praktek klientelisme politik ini lebih sering dilakukan ketika kandidat itu telah terpilih dalam pilkada. Dari 6 bentuk praktek klientelisme politik tersebut di atas, 5 diantaranya dilakukan setelah kandidat memenangkan Pilkada dan memperoleh kekuasaan.
Walau apapun, praktek klientalisme politik dalam Pilkada ini pada hakikatnya mencederai pelaksanaan pilkada dan demokrasi, karena: Pertama, akan membuat pemilih memberikan suara bukan karena pertimbangan rekam jejak dan kualitas serta integritas kandidat, akan tetapi karena pertimbangan praktis dan pragmatis yaitu: diberi uang uang dalam “serangan fajar” dan janji janji politik. Akhirnya terpilihlah kandidat yang sebenarnya bermasalah dari sisi kapasitas dan integritas, namun memiliki modal besar, yang dalam istilah orang Minangkabau disebut dengan “kuning karena kunyit, enak karena santan.”
Kedua, akan membuat pilkada menjadi tetap mahal dan berbiaya tinggi bagi kandidat, karena banyaknya keperluan uang dan barang yang harus diberikan kepada pemilih. Ujung ujungnya akan semakin menyuburkan praktek korupsi juga, karena kandidat harus memenuhi tuntutan untuk mengembalikan modal politik yang telah digelontorkan untuk membeli suara pemilih.
Ketiga, akan membuat kepala daerah terpilih menjadi tersandera secara politik – menjadi “tergigit lidah” – karena harus memenuhi janji politik dan melakukan balas budi kepada para tim sukses dan cukong yang telah menjadi donatur kampanyenya. Balas budi tersebut bisa berupa pemberian proyek (minimal proyek yang bersifat Penunjukan Langsung atau “PL”), serta mempermudah berbagai perizinan usaha tim sukses ataupun cukong yang mendanainya dalam pilkada, walaupun itu terkadang melanggar prosedur dan ketentuan yang ada.
Keempat, akan memungkinkan kandidat terpilih berprilaku tidak adil dan parsial, karena akan memprioritaskan pendistribusian segala sumber daya politik untuk tim sukses dan donatur yang berada di “ring” satu orang orang dekatnya.
*Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas.
Komentar